SAVE PETANI KENDENG
PATMI (48), petani asal Gunung Kendeng, Pati, salah seorang demonstran yang mengecor kakinya di depan Istana Merdeka, Jakarta, akhirnya tewas Selasa (21/3) setelah (konon) mendapat serangan jantung. Istana pun mengucapkan belasungkawa atas kematian Patmi, perempuan “pejuang” yang tak lelah menuntut haknya, menolak pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia (PT SI) di kampungnya, di dekat pegunungan Kendeng, Rembang.
Apapun penyebab kematian Patmi niscaya masih tetap terkait dengan aksi demo dengan cara mengecor kakinya di depan Istana Presiden tersebut. Kematian Patmi yang telah menjadi “martir” untuk perjuangan melawan “kekuasaan yang semena-mena” pun patut mendapat perhatian kita bersama.
Patmi hanya perempuan desa, tetapi perjuangannya (dengan rela mengecor kakinya di depan Istana untuk tujuan yang lebih besar dari sekadar tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya) patut kita apresiasi. Negara jangan melihat kasus kematian Patmi hanya sebagai “kecelakaan yang tak terhindarkan”, tetapi lihatlah apa yang ia perjuangkan. Patmi dan 10 perempuan lain yang mengecor kakinya di depan Istana adalah sebuah refleksi penolakan rakyat atas kesewenang-wenangan penguasa yang hendak memaksakan kehendaknya, yaitu membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang.
Patmi adalah martir yang memperjuangkan kelestarian lingkungan yang hendak dihancurkan atas nama investasi senilai Rp7 triliun untuk pabrik semen. Penguasa dan pengusaha konon telah melakukan studi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk pembangunan pabrik semen itu dan hasilnya, pembangunan pabrik itu tidak merusak lingkungan.
Tapi petani di sekitar Gunung Kendeng yang tidak bodoh menolak alasan tersebut. Bagi petani dan rakyat di sekitar Gunung Kendeng, keberadaan pabrik itu niscaya akan merusak lingkungan, terutama sumber daya air yang sangat vital bagi kehidupan. Mereka khawatir akan kehilangan sawah dan mata pencaharian mereka dari bertani bila pabrik tersebut beroperasi.
Apapun penyebab kematian Patmi niscaya masih tetap terkait dengan aksi demo dengan cara mengecor kakinya di depan Istana Presiden tersebut. Kematian Patmi yang telah menjadi “martir” untuk perjuangan melawan “kekuasaan yang semena-mena” pun patut mendapat perhatian kita bersama.
Patmi hanya perempuan desa, tetapi perjuangannya (dengan rela mengecor kakinya di depan Istana untuk tujuan yang lebih besar dari sekadar tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya) patut kita apresiasi. Negara jangan melihat kasus kematian Patmi hanya sebagai “kecelakaan yang tak terhindarkan”, tetapi lihatlah apa yang ia perjuangkan. Patmi dan 10 perempuan lain yang mengecor kakinya di depan Istana adalah sebuah refleksi penolakan rakyat atas kesewenang-wenangan penguasa yang hendak memaksakan kehendaknya, yaitu membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang.
Patmi adalah martir yang memperjuangkan kelestarian lingkungan yang hendak dihancurkan atas nama investasi senilai Rp7 triliun untuk pabrik semen. Penguasa dan pengusaha konon telah melakukan studi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk pembangunan pabrik semen itu dan hasilnya, pembangunan pabrik itu tidak merusak lingkungan.
Tapi petani di sekitar Gunung Kendeng yang tidak bodoh menolak alasan tersebut. Bagi petani dan rakyat di sekitar Gunung Kendeng, keberadaan pabrik itu niscaya akan merusak lingkungan, terutama sumber daya air yang sangat vital bagi kehidupan. Mereka khawatir akan kehilangan sawah dan mata pencaharian mereka dari bertani bila pabrik tersebut beroperasi.
Category
🗞
News