Dugaan Motif Doktrin Intoleransi dalam Kasus Perusakan Makam Salib di Solo oleh Anak-Anak

  • 3 tahun yang lalu
KOMPAS.TV - Anak-anak di bawah umur yang merupakan pelajar sekolah informal menjadi pelaku perusakan sejumlah Makam Cemoro Kembar di Solo.

Melihat tindakan tersebut sudah menjurus ke intoleransi, polisi pun turun tangan.

Hingga kini, polisi sudah menangkap sebagian pelaku. Polisi juga masih menyelidiki dugaan doktrin intoleransi pada anak-anak yang melakukan perusakan.

Namun, karena pelaku masuh di bawah umur, penyelesaian kasus akan dilakukan secara kekeluargaan yang juga melibatkan psikolog.

Pengasuh sekolah informal, Lembaga Khuttab, tempat para pelaku belajar menyebut tidak ada kesengajaan dalam perusakan makam.

Anak-anak asuh Lembaga Khuttab ini disebut memang kerap bermain di area makam, seusai belajar bersama.

Setelah kasus ini terkuak, Kantor Kementerian Agama Wilayah Solo mengonfirmasi, bahwa Lembaga Pendidikan Khuttab tersebut tidak berizin.

Selain perizinan, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka juga mempermasalahkan pelanggaran protokol kesehatan sekolah yang semestinya belajar-mengajar secara online.

Gibran pun merasa geram, hingga beberapa malam, kendaraan dinas Wali Kota Solo ini pun sengaja diparkir tak jauh dari area perusakan makam.

Gibran juga menyerahkan kasus ini ke polisi.

Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Benny Susetyo menyebutkan jika kasus perusakan makam ini membuktikan masih adanya sikap intoleransi yang bahkan sudah menyasar ke anak-anak.

"Tindakan intoleransi tidak sesuai dengan konstitusi bangsa dan negara Indonesia. Anak-anak bisa melakukan tindakan intoleransi, menggambarkan ada unsur kebencian terhadap agama tertentu yang diajarkan dalam sekolah mereka dan ini sangat berbahaya" ujar Romo Benny.

Romo Benny menyebutkan sudah seharusnya kita membenarkan sistem pendidikan agar bisa menghargai dan melihat perbedaan sebagai bentuk keberagaman bukan malah membencinya.

Simak pembahasan selengkapnya bersama Komisioner KPAI, Putu Elvina dan Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Benny Susetyo.

Dianjurkan