• 2 tahun yang lalu
Di tengah modernisasi industri, kain tenun yang dibuat dengan cara tradisional masih lestari di Bali Barat.

Walaupun jumlah penenun masih bisa dihitung dengan jari, tetapi yang patut diapresiasi adalah mereka tetap eksis mempertahankan nilai tradisi.

Secara sederhana gambaran menenun kain adalah dengan cara menyilangkan atau menganyam benang lusi ke arah panjang kain dan benang pakan ke arah lebar kain. Perajin tenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Salah satunya perajin kain tenun Usriya (30) asal Banjar Tangi Desa Tegalbadeng Timur, Kecamatan Negara mengatakan dirinya hanya sebagai buruh menenun jenis sarung kain tradisional sejak tahun 2010 hingga sampai saat ini.

Kain tenun dikerjakan bersama keluarga dan satu temannya di rumah dengan menggunakan alat yang didapat dari pemilik usaha tenun.

"Dalam 1 hari bisa mendapatkan 1 sarung dengan berbagai motif. Awalnya dikerjakan di Loloan Barat hingga dibawalah pulang dikerjakan sendiri di rumah. Ada 6 alat tenun bukan mesin. Sebelumnya saya harus belajar dengan teliti dan terampil," jelasnya.

Usriya juga mengatakan bahan dari sang pemilik dibelinya dari luar pulau Bali. Lantas, ia mengembangkan segala jenis motif hingga menghasilkan jenis tenun sarung yang punya kualitas tersendiri.

Harga sarung tenun yang jadi tergantung warna, kalau putih dibandrol Rp520 ribu, sedangkan warna hitam, ungu, hijau, merah dan kuning seharga Rp500 ribu.

"Dalam pengerjaan ini mendapat upah Rp40 ribu dalam satu kali pengerjaan. Bahkan bisa lebih karena bonus bisa mencapai Rp300 ribu. Harus bisa cepat, karena semakin cepat tentu akan dapat hasil berupa upah," paparnya.

Ia mengaku ada 6 penenun yang mengerjakan dan 1 perajin dari BB Agung. Bahan yang sudah jadi langsung diambil. Meski dengan alat tradisional, ia mengaku lebih senang karena lebih bisa menikmati kerja.

"Dulu pernah merajut monte ternyata sakit mata, justru ini lebih asyik dan bisa menyambil kerjaan rumah," tutup ibu dari 2 anak yang suaminya kerja melaut.

Dianjurkan