Malam Satu Suro, Malam Tanggal 1 Muharram dalam Penanggalan Hijriyah atau Penanggalan Islam

  • 5 tahun yang lalu
TRIBUN-VIDEO.COM - Malam 1 Suro merupakan malam 1 Muharram dalam penanggalan Hijriyah atau penanggalan Islam.

Masyarakat Jawa hingga saat ini masih memandang Malam 1 Suro sebagai malam yang sacral dibandingkan hari-hari biasa.

Ada beberapa kisah yang menjadikan malam 1 Suro menjadi malam yang sacral bagi masyarakat Jawa.

Salah satunya adalah cerita tentang kedatangan Aji Saka yang pada malam 1 Suro membebaskan rakyat Jawa dari makhluk gaib raksasa.

Selain itu, masyarakat Jawa juga mempercayai jika pada malam 1 Suro juga merupakan hari pulangnya arwah para keluarga yang sudah meninggal.

Pada malam 1 Suro juga banyak diadakan upacara tradisi dari masing-masing daerah.

Sejarah Malam 1 Suro

Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram Islam merupakan tokoh yang memperkenalkan kalender Jawa.

Sultan Agung yang saat itu memimpin kerajaan Mataram Islam bermaksud memperkuat daerah kekuasaanya dengan cara menyatukan tradisi Jawa dan Islam.

Salah satu yang dilakukan Sultan Agung adalah dengan mengkombinasikan penanggalan Islam atau Hijriyah dengan penanggalan Hindu atau Saka sehingga muncullah system penanggalan Jawa.

Saat itu, penanggalan Islam Hijriyah banyak dianut oleh masyarakat pesisir, sedangkan penanggalan Saka banyak dianut oleh masyarakat pedalaman yang beragama Hindu Kejawen.

Sultan Agung lantas memerintahkan untuk menggunakan penanggalan Jawa di seluruh wilayah kerajaan.

Penghitungan tanggal pada penanggalan Jawa menggunakan sitem perhitungan berdasarkan pada peredaran bulan, sebegaimana sitem penanggalan Hijriyah, sedangkan tahunnya masih menggunakan penanggalan Saka.

Nama Suro berasal dari bahasa Arab ‘Asyura’ diberikan oleh Sultan Agung untuk mengawali penanggalan Jawa, jika dalam penanggalan Hijriyah dimulai pada bulan Muharram.

Sehingga bulan 1 Suro Jawa diterima sebagai awal tahun Jawa tapi tahunnya tidak dimulai dari tahun 1, melainkan dari tahun 1555 berdasarkan tahun penanggalan Saka.

Tradisi Malam 1 Suro

Tradisi malam 1 Suro masih dipegang teguh oleh masyarakat Jawa yang dipandang sebagai momen untuk mawas diri atas apa yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir.

Berikut ini beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat ketika malam 1 Suro:

1. Tapa Bisu

Tapa bisu merupakan ritual mengunci mulut dan tidak mengeluarkan kata-kata apapun.

Tapa Bisu kerap dijumpai di wilayah Yogyakarta dan Solo ini dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, instropeksi atas apa saja yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang.

Dalam melaksanakan Tapa Bisu, para abdi dalem keraton dan masyarakat yang melakukan tapa bisu akan berjalan mengelilingi benteng keraton.

2. Kungkum

Kungkum atau berendam merupakan ritual yang dilakukan pada malam 1 suro dengan cara + berendam di sungai besar, atau sumber air tertentu.

3. Ruwatan

Ruwatan bertujuan untuk menyucikan manusia dari dosa dan kesalahan yang telah dilakukan serta menghilangkan kesialan-kesialan dalam hidup orang tersbut.

4. Kirab Kebo Bule

Kirab Kebo Bule merupakan tradisi dari Keraton Kasunanan Surakarta.

Kebo Bule Kyai Slamet yang merupakan hewan kesayangan Paku Buwono II yang termasuk sebagai pusaka penting Keraton Solo akan diarak di jalanan.

Kirab Kebo Bule biasanya dimulai ketika tengah malam.

5. Ngumbah Keris

Ngumbah Keris atau memandikan keris dalam masyarakat Jawa merupakan kegiatan spiritual yang dianggap sacral dan hanya kan dilakukan di waktu-waktu tertentu seperti pada malam 1 Suro.

6. Lek-lekan (Begadang)

Lek-lekan atau begadang masih kerap dijumpai di masyarakat di desa pada malam 1 suro.

Pada malam 1 Suro masyarakat tidak akan tidr semalam suntuk.

7. Tirakatan

Tirakatan memiliki makna untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta.

Dianjurkan