Setelah pulang dari Belanda pada tahun 1932, Mohammad Hatta terus aktif di dunia politik. Ia bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) atau yang lebih dikenal dengan sebutan PNI Baru. Secara resmi, Sutan Sjahrir menjabat sebagai Ketua PNI Baru, tetapi Mohammad Hatta juga menjadi sosok yang dihormati oleh semua anggota organisasi tersebut.
Hatta rutin menulis terutama untuk surat kabar Daulat Ra'jat dan aktif memberikan kursus-kursus politik. Namun kegiatan-kegiatan ini membuatnya selalu berada di bawah pengawasan polisi dan intelijen Belanda.
Pada tanggal 25 Februari 1934, akhirnya Hatta pun ditangkap. Ia dianggap terlalu berbahaya untuk dibiarkan beraktivitas secara bebas. Beberapa pengurus lain dari PNI Baru juga ditahan, termasuk Sjahrir. Mohammad Hatta dijebloskan ke penjara Glodok, sementara Sjahrir ditahan di Cipinang.
Pada tanggal 16 November 1934, keputusan yang sangat pahit diumumkan, Mohammad Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digoel. Tuduhan yang diberikan kepada mereka adalah melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintahan saat mereka tinggal di Belanda.
Menariknya, tuduhan serupa pernah ditujukan kepada Mohammad Hatta sebelumnya. Namun, pada bulan Maret 1928 Mohammad Hatta dinyatakan tidak bersalah.
Digoel adalah sebuah tempat yang menakutkan. Kawasan terpencil di Papua tersebut dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada tahun 1927 sebagai tempat pengasingan bagi tahanan politik. Tempat ini dikelilingi oleh hutan rimba yang lebat dan terletak jauh dari segala sesuatu. Keadaan semakin mencekam karena adanya nyamuk malaria yang banyak dan berbahaya.
Mohammad Hatta tiba di Digoel pada akhir Januari 1935. Di sana, terdapat dua jenis tahanan yaitu yang bersedia bekerja untuk Belanda (werkwillig) dan mereka yang tidak (naturalis), Hatta sendiri memilih yang kedua. Oleh karena itu, ia tidak menerima upah sama sekali dan hanya diberikan pangan yang cukup terbatas. Pangan tersebut meliputi beras, ikan asin, teh, kacang hijau, dan minyak kelapa.
Beruntungnya, Hatta masih diizinkan untuk menulis sebagai cara untuk mendapatkan uang. Hatta menandatangani kontrak dengan koran Pemandangan di Batavia. Dengan honorarium yang diterimanya, ia dapat membeli keperluan seperti sabun, minyak tanah, dan barang-barang lainnya.
Meskipun berada di Digoel, para tahanan memiliki kebebasan untuk bergerak. Namun, mereka tidak memiliki tempat tujuan yang jelas. Rasa jenuh dan ketidakpastian yang disertai serangan malaria menjadi ancaman serius menuju kematian.
Untuk menjaga kesehatan mentalnya, Hatta terus membaca dan menulis. Saat pindah ke Digoel, seluruh koleksi bukunya diangkut dalam belasan peti. Selain itu, ia juga mengajarkan ekonomi, filsafat, dan sejarah kepada para tahanan yang bersedia belajar.
...
Hatta rutin menulis terutama untuk surat kabar Daulat Ra'jat dan aktif memberikan kursus-kursus politik. Namun kegiatan-kegiatan ini membuatnya selalu berada di bawah pengawasan polisi dan intelijen Belanda.
Pada tanggal 25 Februari 1934, akhirnya Hatta pun ditangkap. Ia dianggap terlalu berbahaya untuk dibiarkan beraktivitas secara bebas. Beberapa pengurus lain dari PNI Baru juga ditahan, termasuk Sjahrir. Mohammad Hatta dijebloskan ke penjara Glodok, sementara Sjahrir ditahan di Cipinang.
Pada tanggal 16 November 1934, keputusan yang sangat pahit diumumkan, Mohammad Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digoel. Tuduhan yang diberikan kepada mereka adalah melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintahan saat mereka tinggal di Belanda.
Menariknya, tuduhan serupa pernah ditujukan kepada Mohammad Hatta sebelumnya. Namun, pada bulan Maret 1928 Mohammad Hatta dinyatakan tidak bersalah.
Digoel adalah sebuah tempat yang menakutkan. Kawasan terpencil di Papua tersebut dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada tahun 1927 sebagai tempat pengasingan bagi tahanan politik. Tempat ini dikelilingi oleh hutan rimba yang lebat dan terletak jauh dari segala sesuatu. Keadaan semakin mencekam karena adanya nyamuk malaria yang banyak dan berbahaya.
Mohammad Hatta tiba di Digoel pada akhir Januari 1935. Di sana, terdapat dua jenis tahanan yaitu yang bersedia bekerja untuk Belanda (werkwillig) dan mereka yang tidak (naturalis), Hatta sendiri memilih yang kedua. Oleh karena itu, ia tidak menerima upah sama sekali dan hanya diberikan pangan yang cukup terbatas. Pangan tersebut meliputi beras, ikan asin, teh, kacang hijau, dan minyak kelapa.
Beruntungnya, Hatta masih diizinkan untuk menulis sebagai cara untuk mendapatkan uang. Hatta menandatangani kontrak dengan koran Pemandangan di Batavia. Dengan honorarium yang diterimanya, ia dapat membeli keperluan seperti sabun, minyak tanah, dan barang-barang lainnya.
Meskipun berada di Digoel, para tahanan memiliki kebebasan untuk bergerak. Namun, mereka tidak memiliki tempat tujuan yang jelas. Rasa jenuh dan ketidakpastian yang disertai serangan malaria menjadi ancaman serius menuju kematian.
Untuk menjaga kesehatan mentalnya, Hatta terus membaca dan menulis. Saat pindah ke Digoel, seluruh koleksi bukunya diangkut dalam belasan peti. Selain itu, ia juga mengajarkan ekonomi, filsafat, dan sejarah kepada para tahanan yang bersedia belajar.
...
Category
🗞
Berita