Jenderal Soedirman menempuh rute sepanjang 1.009 kilometer selama tujuh bulan selama perang gerilya pada Desember 1948 hingga Juli 1949.
Rute perang gerilya Jenderal Sudirman ini mulai dari Yogyakarta-Bantul-Gunungkidul-Wonogiri-Pacitan-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung-Kediri-Nganjuk-Sleman.
Strategi gerilya yang diterapkan oleh Jenderal Soedirman dilakukan untuk memecah konsentrasi militer Belanda.
Puncak dari perang gerilya Jenderal Soedirman adalah pecahnya Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Adapun serangan tersebut berhasil memukul mundur Belanda dan menguasai Yogyakarta selama enam jam.
Jenderal Sudirman dan pasukannya melakukan perlawanan atas Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 dan melakukan gerilya selama tujuh bulan atau hingga awal Juli 1949.
Sudirman memutuskan meninggalkan Yogyakarta untuk memulai gerilya pada 22 Desember 1948.
Pada 1 Maret 1949 pagi hari terjadi serangan besar-besaran secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Pasukan Indonesia pun sukses menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Aksi tersebut dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kesaksian Pembawa Tandu Jenderal Sudirman
Dengan dikawal sekelompok tentara kecil dan dokter pribadinya, Sudirman harus ditandu menembus belantara di Jawa Tengah hingga Jawa Timur sejauh 1000 km selama tujuh bulan.
Satu-satunya pemikul tandu Jenderal Sudirman yang masih hidup hingga kini diketahui bernama Djuwari.
Djuwari dan tiga pemikul tandu lainnya diketahui berasal dari Dusun Goliman, Desa Parang, Kecamatan Banyakan, Kediri, Jawa Timur.
Dia mengaku memanggul Jenderal Sudirman dari Goliman hingga Bajulan Nganjuk.
Dia bercerita, memanggul tandu Sudirman merupakan kebanggaan luar biasa.
Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Sudirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar.
Pernah suatu kali diberi uang Rp500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Dulu gotong tandunya gantian mas, kira-kira ada orang tujuh, yang ikut manggul dari Goliman adalah Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu), dan Djoyo dari (warga Goliman),” ujarnya kepada wartawan tahun pada Februari 2022 lalu.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Sudirman seingatnya dimulai pukul 08.00 WIB dengan dikawal banyak pria berseragam.
Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Dari Bajulan (Nganjuk), saya dan pemikul lain terus balik ke Goliman. Waktu itu dikasih kain dan sarung,” tuturnya.
Rute perang gerilya Jenderal Sudirman ini mulai dari Yogyakarta-Bantul-Gunungkidul-Wonogiri-Pacitan-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung-Kediri-Nganjuk-Sleman.
Strategi gerilya yang diterapkan oleh Jenderal Soedirman dilakukan untuk memecah konsentrasi militer Belanda.
Puncak dari perang gerilya Jenderal Soedirman adalah pecahnya Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Adapun serangan tersebut berhasil memukul mundur Belanda dan menguasai Yogyakarta selama enam jam.
Jenderal Sudirman dan pasukannya melakukan perlawanan atas Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 dan melakukan gerilya selama tujuh bulan atau hingga awal Juli 1949.
Sudirman memutuskan meninggalkan Yogyakarta untuk memulai gerilya pada 22 Desember 1948.
Pada 1 Maret 1949 pagi hari terjadi serangan besar-besaran secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Pasukan Indonesia pun sukses menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Aksi tersebut dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kesaksian Pembawa Tandu Jenderal Sudirman
Dengan dikawal sekelompok tentara kecil dan dokter pribadinya, Sudirman harus ditandu menembus belantara di Jawa Tengah hingga Jawa Timur sejauh 1000 km selama tujuh bulan.
Satu-satunya pemikul tandu Jenderal Sudirman yang masih hidup hingga kini diketahui bernama Djuwari.
Djuwari dan tiga pemikul tandu lainnya diketahui berasal dari Dusun Goliman, Desa Parang, Kecamatan Banyakan, Kediri, Jawa Timur.
Dia mengaku memanggul Jenderal Sudirman dari Goliman hingga Bajulan Nganjuk.
Dia bercerita, memanggul tandu Sudirman merupakan kebanggaan luar biasa.
Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Sudirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar.
Pernah suatu kali diberi uang Rp500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Dulu gotong tandunya gantian mas, kira-kira ada orang tujuh, yang ikut manggul dari Goliman adalah Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu), dan Djoyo dari (warga Goliman),” ujarnya kepada wartawan tahun pada Februari 2022 lalu.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Sudirman seingatnya dimulai pukul 08.00 WIB dengan dikawal banyak pria berseragam.
Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Dari Bajulan (Nganjuk), saya dan pemikul lain terus balik ke Goliman. Waktu itu dikasih kain dan sarung,” tuturnya.
Category
🗞
Berita