Indonesia memiliki banyak masa lampau yang kelam nan memilukan. Karena itulah catatan hitam HAM Indonesia begitu banyak, terutama tragedi yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto. Salah satu catatan hitam yang terjadi di Indonesia adalah tragedi Mangkuk Merah yang dikenal dengan tragedi pengusiran etnis Tionghoa oleh ABRI bersama Suku Dayak.
Tragedi Mangkuk Merah terjadi pada tahun 1967 di Kalimatan Barat. Tragedi ini terjadi saat terjadi konflik sosial dan kekerasan yang melibatkan berbagai etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Tragedi Mangkuk Merah menjadi tragedi kelam yang harus diingat oleh masyarakat Indonesia. Sebab pengusiran tersebut melibatkan ribuan orang.
Berdasarkan kisah yang beredar, tragedi Mangkuk Merah terjadi selama tiga sampai empat bulan, yakni antara September hingga Desember pada tahun 1967. Tragedi Mangkuk Merah merupakan istilah ritual dan adat yang dilakukan oleh suku Dayak. Ritual tersebut ditujukan sebagai sarana konsolidasi dan mobiliasasi pasukan lintas subsuku yang dikenal efektif dan efisien.
Namun, diadakannya ritual Mangkuk Merah tersebut diketahui adalah untuk sesuatu yang amat genting. Ritual tersebut diketahui sebagai simbol dimulainya peperangan. Pemicu dari tragedi tersebut diketahui karena adanya rasa khawatir warga Melayu terhadap etnis Tionghoa. Kala itu, ketegangan kedua suku benar-benar luar biasa.
Kala ritual Mangkuk Merah tahun 1967 pecah, sejumlah tokoh Dayak menggerakkan para warganya untuk menumpaskan sayap kiri. Bahkan, mereka pun mengerahkan upayanya bersama ABRI untuk mengejar dan menumpaskan orang-orang Tionghoa. Kala itu terjadi, setidaknya 3.000 orang harus kehilangan nyawanya dan 5.000 orang lainnya terpaksa harus mengungsi, bahkan akhirnya ribuan orang tersebut kehilangan nyawanya di tempat pengungsian. Sebab mereka kelaparan di tempat pengungsian yang kala itu di Pontianak.
Jauh sebelum kejadian kelam tersebut, suku Dayak dan etnis Tionghoa hidup dengan damai, menjalin hubungan persaudaraan yang kuat. Namun, hubungan yang harmonis tersebut akhirnya runtuh setelah tragedi 30 September 1965 pecah. Sebab setelah tragedi 30 September, etnis Tionghoa dijadikan bulan-bulanan.
Meski sebenarnya percikan api tragedi tersebut sudah mulai muncul sejak tahun 1963. Banyak terjadi pemberontakan sejak itu, salah satunya adalah yang terjadi antara suku Dayak dan etnis Tionghoa. Karena tidak lagi tertahankan, maka salah satunya yakni suku Dayak pun melangsungkan pergerakkan yang menghilangkan ribuan nyawa.
Kejadian tersebut rupanya bukan hanya terjadi di Kalimantan Barat saja, tapi juga di Kalimantan Utara. Bahkan, kelompok Malaysia pun diketahui sempat terlibat dalam pergerakan tersebut.
Karena itulah Pemerintahan Orde Baru menjadi puncak dari penumpasan etnis Tionghoa. Adapun tragedi Mangkuk Merah jadi salah satu tragedi penumpasan yang ada. Sehingga Indonesia pun mengalami perputaran arah politik, serta perombakan arus ombak.
(Wafi Hakim Al Shidqy)
Tragedi Mangkuk Merah terjadi pada tahun 1967 di Kalimatan Barat. Tragedi ini terjadi saat terjadi konflik sosial dan kekerasan yang melibatkan berbagai etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Tragedi Mangkuk Merah menjadi tragedi kelam yang harus diingat oleh masyarakat Indonesia. Sebab pengusiran tersebut melibatkan ribuan orang.
Berdasarkan kisah yang beredar, tragedi Mangkuk Merah terjadi selama tiga sampai empat bulan, yakni antara September hingga Desember pada tahun 1967. Tragedi Mangkuk Merah merupakan istilah ritual dan adat yang dilakukan oleh suku Dayak. Ritual tersebut ditujukan sebagai sarana konsolidasi dan mobiliasasi pasukan lintas subsuku yang dikenal efektif dan efisien.
Namun, diadakannya ritual Mangkuk Merah tersebut diketahui adalah untuk sesuatu yang amat genting. Ritual tersebut diketahui sebagai simbol dimulainya peperangan. Pemicu dari tragedi tersebut diketahui karena adanya rasa khawatir warga Melayu terhadap etnis Tionghoa. Kala itu, ketegangan kedua suku benar-benar luar biasa.
Kala ritual Mangkuk Merah tahun 1967 pecah, sejumlah tokoh Dayak menggerakkan para warganya untuk menumpaskan sayap kiri. Bahkan, mereka pun mengerahkan upayanya bersama ABRI untuk mengejar dan menumpaskan orang-orang Tionghoa. Kala itu terjadi, setidaknya 3.000 orang harus kehilangan nyawanya dan 5.000 orang lainnya terpaksa harus mengungsi, bahkan akhirnya ribuan orang tersebut kehilangan nyawanya di tempat pengungsian. Sebab mereka kelaparan di tempat pengungsian yang kala itu di Pontianak.
Jauh sebelum kejadian kelam tersebut, suku Dayak dan etnis Tionghoa hidup dengan damai, menjalin hubungan persaudaraan yang kuat. Namun, hubungan yang harmonis tersebut akhirnya runtuh setelah tragedi 30 September 1965 pecah. Sebab setelah tragedi 30 September, etnis Tionghoa dijadikan bulan-bulanan.
Meski sebenarnya percikan api tragedi tersebut sudah mulai muncul sejak tahun 1963. Banyak terjadi pemberontakan sejak itu, salah satunya adalah yang terjadi antara suku Dayak dan etnis Tionghoa. Karena tidak lagi tertahankan, maka salah satunya yakni suku Dayak pun melangsungkan pergerakkan yang menghilangkan ribuan nyawa.
Kejadian tersebut rupanya bukan hanya terjadi di Kalimantan Barat saja, tapi juga di Kalimantan Utara. Bahkan, kelompok Malaysia pun diketahui sempat terlibat dalam pergerakan tersebut.
Karena itulah Pemerintahan Orde Baru menjadi puncak dari penumpasan etnis Tionghoa. Adapun tragedi Mangkuk Merah jadi salah satu tragedi penumpasan yang ada. Sehingga Indonesia pun mengalami perputaran arah politik, serta perombakan arus ombak.
(Wafi Hakim Al Shidqy)
Category
🗞
Berita