Dari sekian banyak pelingih di Bali, salah satunya pelinggih berada di Banjar Adat Gegadon, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung misalnya.Diyakini sebagai tempat memohon kesembuhan bagi anak-anak terlambat berbicara. Pelinggih tepat berdiri pinggir jalan.
Pelinggih tersebut, bernama Pelinggih Sang Hyang Iswara atau Temuku Telu. Adapun kisah keberadaan pelinggih tersebut menurut, Kelihan Banjar Adat Gegadon, I Ketut Suta saat ditemui di disekitar pelingih belum lama ini mengatakan, dari cerita para tetua, sebelum dibangun pelinggih di zaman dahulu telah adalah, tempat pembagian air untuk subak atau biasa disebut temuku.
Temuku tersebut kemudian dinamakan Temuku Telu sebagai istilah memudahkan memberi informasi soal pengairan subak. Ternyata tempat pembagian air untuk subak tersebut lama kelamaan akhirnya diyakini sebagai tempat memohon kesembuhan bagi anak-anak yang terlambat bicara.
Akibat cerita dari mulut ke mulut membuat banyak orang mulai berdatangan ke pelinggih. Dari sepengetahuan dirinya 1960-an sudah ada orang luar Banjar Gegadon datang dengan tujuan melukatkan anaknya di pelinggih tersebut.
"Saya ingat waktu itu saya umur 8 tahun. Ada orang dari dari Negara, Kabupaten Jembrana yang datang ingin melukat ke sini. Sampai dia mesesangi (kaul), kalau anaknya bisa bicara akan mempersembahkan sesuatu sebagai wujud terima kasih", cetusnya.
Belum ada palinggih berdiri dimana pelinggih tersebut berdiri saat ini, belum ada jalan raya seperti sekarang hanya jalan setapak saja. Setelah cerita keberadaan pelinggih tersebut diketahui dari mulut ke mulut, saat itu ada salah seorang dokter spesialis kandungan datang ke tempat tersebut.
Dokter tersebut mengajak anaknya untuk dilukat di sana, sambil berjanji jika anaknya dapat berbicara akan membayar kaul membuatkan pelinggih di sana.
"Saya kurang tau asal Dokter tersebut yang jelas prakteknya di Kediri (Tabanan). Dia berdoa jika anaknya bisa bicara, dia sanggup akan menghaturkan pelinggih dan kelengkapannya pelinggih ini ada sekitar tahun 2002 atau 2003", ujarnya.
Untuk pelaksanaan melukat bagi anak kecil yang terlambat bicara dilakukan setiap Kajeng Kliwon atau 15 hari sekali. Sedangkan piodalan di pelinggih tersebut dirayakan setiap Hari Raya Kuningan.
"Untuk pemangku khusus belum ada. Sehingga, kami sepakat melalui paruman banjar, semua pemangku di Banjar Gegadon yang melayani umat yang datang. Ada 6 pemangku dan diatur ngayahnya di pelinggih ini oleh paiketan pemangku. Kadang-kadang kami libatkan semua jika umat banyak yang datang,” paparnya.
Jika umat yang datang hampir dari seluruh Bali. Bahkan banyak dari luar daerah yang juga datang, baik semeton Hindu di rantauan hingga umat non Hindu.
“Saya bilang apa adanya saja. Tuhan hanya satu, jadi mohonnya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yakini tempat ini bisa memberikan anugerah,” sebutnya.
Pelinggih tersebut, bernama Pelinggih Sang Hyang Iswara atau Temuku Telu. Adapun kisah keberadaan pelinggih tersebut menurut, Kelihan Banjar Adat Gegadon, I Ketut Suta saat ditemui di disekitar pelingih belum lama ini mengatakan, dari cerita para tetua, sebelum dibangun pelinggih di zaman dahulu telah adalah, tempat pembagian air untuk subak atau biasa disebut temuku.
Temuku tersebut kemudian dinamakan Temuku Telu sebagai istilah memudahkan memberi informasi soal pengairan subak. Ternyata tempat pembagian air untuk subak tersebut lama kelamaan akhirnya diyakini sebagai tempat memohon kesembuhan bagi anak-anak yang terlambat bicara.
Akibat cerita dari mulut ke mulut membuat banyak orang mulai berdatangan ke pelinggih. Dari sepengetahuan dirinya 1960-an sudah ada orang luar Banjar Gegadon datang dengan tujuan melukatkan anaknya di pelinggih tersebut.
"Saya ingat waktu itu saya umur 8 tahun. Ada orang dari dari Negara, Kabupaten Jembrana yang datang ingin melukat ke sini. Sampai dia mesesangi (kaul), kalau anaknya bisa bicara akan mempersembahkan sesuatu sebagai wujud terima kasih", cetusnya.
Belum ada palinggih berdiri dimana pelinggih tersebut berdiri saat ini, belum ada jalan raya seperti sekarang hanya jalan setapak saja. Setelah cerita keberadaan pelinggih tersebut diketahui dari mulut ke mulut, saat itu ada salah seorang dokter spesialis kandungan datang ke tempat tersebut.
Dokter tersebut mengajak anaknya untuk dilukat di sana, sambil berjanji jika anaknya dapat berbicara akan membayar kaul membuatkan pelinggih di sana.
"Saya kurang tau asal Dokter tersebut yang jelas prakteknya di Kediri (Tabanan). Dia berdoa jika anaknya bisa bicara, dia sanggup akan menghaturkan pelinggih dan kelengkapannya pelinggih ini ada sekitar tahun 2002 atau 2003", ujarnya.
Untuk pelaksanaan melukat bagi anak kecil yang terlambat bicara dilakukan setiap Kajeng Kliwon atau 15 hari sekali. Sedangkan piodalan di pelinggih tersebut dirayakan setiap Hari Raya Kuningan.
"Untuk pemangku khusus belum ada. Sehingga, kami sepakat melalui paruman banjar, semua pemangku di Banjar Gegadon yang melayani umat yang datang. Ada 6 pemangku dan diatur ngayahnya di pelinggih ini oleh paiketan pemangku. Kadang-kadang kami libatkan semua jika umat banyak yang datang,” paparnya.
Jika umat yang datang hampir dari seluruh Bali. Bahkan banyak dari luar daerah yang juga datang, baik semeton Hindu di rantauan hingga umat non Hindu.
“Saya bilang apa adanya saja. Tuhan hanya satu, jadi mohonnya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yakini tempat ini bisa memberikan anugerah,” sebutnya.
Category
📚
Learning